Ruangan itu begitu sempit dan gelap, tempat dimana Ren
meronta-ronta di atas kursi, mencoba melepaskan dirinya dari tali yang tak
membiarkan tubuhnya bergerak sedikitpun. Ditengah ketidakmampuannya untuk
mengingat kapan dan bagaimana ia bisa berada disana, ia berteriak terus menerus.
“Hei, siapapun kau, lepaskan aku!” teriaknya. “Apa
yang kau mau dariku?, cepat bebaskan aku!”. Suaranya menggema, jelas sekali
kalau ruangan tempatnya diikat itu sepi, tak ada satupun orang disana. 2 jam berselang,
di saat Ren telah kehabisan tenaga untuk memberontak dan berteriak, terdengar
suara langkah kaki mendekat.
“Siapa kau?, cepat lepaskan aku, brengsek!” ujar Ren
ketika tangan dari orang tadi mendarat dibahunya. Tak ada jawaban, hanya suara
tawa mengejek yang terdengar. “Kenapa kau begitu kasar padaku, sayang?” Sepersekian
detik kemudian Ren mengenali suara itu. “K k kau…” bersamaan dengan kalimatnya
yang terbata-bata kain yang menutupi matanya, dilepas paksa. “Iya, ini aku,”
ujar perempuan yang berdiri di depan Ren. “Kenapa? Kau terkejut?” lanjutnya.
“La? Apa yang sedang kau lakukan? Lepaskan aku,”
nada bicara Ren menurun. “Melepaskanmu? Aku tidak mau,” perempuan yang
dipanggil Ren dengan nama La itu menggeleng pelan. “La, …” kata-kata Ren terhenti
saat melihat senyum sinis yang ditunjukkan oleh La. “Aku tidak akan
melepaskanmu, Ren,” ujar La dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Kenapa kau lakukan ini, La? Aku ini kekasihmu,
bukan?,” Ren menatap La yang kini berjalan menjauhinya, menuju sebuah meja yang
terdapat disudut ruangan. “Iya, kau itu Ren, kekasihku yang jahat,”jawab La
dengan datar. “Jahat? Kenapa kau menyebutku sebagai kekasih yang jahat?” tanya
Ren tanpa melepaskan pandangannya dari perempuan itu.
La tidak menjawab, ia hanya diam dan berjalan
berputar-putar di ruangan itu. Tangannya memainkan sesuatu yang berkilat,
sebuah pisau lipat yang tadi diambilnya dari atas meja. “Kau itu jahat, kau
sama sekali tak peduli dengan perasaanku,” katanya sambil berdiri tepat di
depan Ren. La menjulurkan pisau lipat ditangannya, ke samping wajah Ren secara
tiba-tiba. “Kau tidak pernah menganggapku ada,” bisiknya disamping telinga Ren.
Ren tercekat, perubahan pada diri La benar-benar
membuatnya takut. Gadis manis dan polos yang selama ini dikenalnya, kini
berubah menjadi seperti seorang psikopat yang siap menyakitinya kapanpun gadis
itu ingin. La menarik tubuhnya menjauhi Ren, dengan pisau yang tidak berpindah
dari pipi kiri Ren. “Hentikan La, lepaskan aku dan kita bicarakan ini
baik-baik,” ujar Ren yang mulai merasakan dingin besi itu dikulitnya. “Tidak
ada yang perlu dibicarakan, kau jahat. Aku sudah terlalu banyak bersabar,” ujar
La tanpa ekspresi. “La, aku mohon. Setidaknya kau harus menjelaskan, mengapa
kau menganggapku jahat?” Ren memperhatikan gadis yang sedang menatap lurus
matanya itu.
Tawa pahit yang dikeluarkan La terdengar, ia menarik
pisau itu dari wajah Ren. “Ren, jangan bertingkah seolah kau tidak tahu
apa-apa. Kau selalu menyakitiku. Kau tak pernah menganggapku, kau hanya
menjadikan aku bonekamu. Bukankah itu lebih dari cukup untuk menyebutmu
laki-laki jahat?” ujar La sembari melempar pandangan jijik pada Ren. “Apa yang
kau katakan, La?. Aku tidak pernah memperlakukanmu seperti itu, aku mencintaimu,”
kata-kata Ren berusaha meyakinkan La.
Tawa La kembali meledak, kali ini tawa sinisnya yang
memenuhi ruangan itu. “Apa kau menganggapku bodoh?. Kau tidak pernah
mencintaiku, dan aku tahu itu,” La mengucapkan kalimat terakhir dengan penuh
penekanan. Ren menatap bingung perempuan itu, berusaha mengartikan kata-kata
La. “Apa kau masih tidak mengerti?, atau aku harus menceritakan lebih rinci
padamu, tentang hal-hal yang selama ini aku lihat dalam diam?!”La nyaris
berteriak. Ren terdiam. “Baik, jika itu maumu. Akan kuceritakan semua, dan aku
juga akan menunjukkan seberapa sakitnya aku,” lanjutnya.
“Kau tahu darimana semua hal ini dimulai? 31
Agustus tahun lalu. Kau masih ingat ketika aku memintamu untuk menemaniku
mencari kado? Apa yang kau katakan saat itu? Huh?” La menatap sinis Ren.
“Maaf sayang, aku tak bisa. Aku harus mengantar adikku ke tempat les,” nada
suara La terdengar mengejek. “Haha, kau pikir semudah itu untuk membohongiku?.
Aku diam, tapi aku tahu segalanya Ren. Malam itu, kau pergi dengan Krys, bukan?!
Jawab aku!” La menjambak rambut Ren yang sedari tadi menunduk.
“Kau tahu betapa sakitnya aku? Apa kau tahu betapa
sakitnya aku, hah?!” La memutar pisau lipat yang ada ditangannya, dan seketika
menancapkan pisau itu di bahu kiri Ren. Ia menggerakkan pisau itu dengan cepat,
menuruni lengan menuju ke telapak tangan. Membuat sayatan dalam di sepanjang
tangan kiri laki-laki itu. Ekspresi datar yang tergambar diwajah La, ketika
mencabut kasar besi tajam itu dari kekasihnya.
Darah segar mulai mengalir dari luka itu, membuat
sang pemilik lengan meringis kesakitan. “La, kumohon hentikan..” ujar Ren
disela sakitnya. La hanya diam, seolah tidak mendengar rintihan itu. “Aku
membencimu Ren, aku sangat membencimu. Kenyataan bahwa kekasihmu berselingkuh
dengan sahabatmu sendiri terlalu menyakitiku” La terus berujar tanpa
mempedulikan bau anyir darah yang telah memenuhi ruangan.
“Setiap kali kau pergi bersama Krys, aku tahu.
Setiap kau membatalkan rencana kita hanya untuk Krys, aku tahu. Kau sering
menolak ajakanku untuk pergi keluar, walau untuk sekedar menemaniku berbelanja
kebutuhan apartemen. Tapi untuk menemani Krys pergi keluar kota, kau
menyetujuinya tanpa syarat.” Ekspresi datar La kini ditambah dengan sorot mata
sedih.
“Aku masih ingat dengan jelas, saat malam Natal kau
tiba-tiba membatalkan janji makan malam kita. Saat kutanya kenapa, kau bilang
ibumu sakit keras dan sedang dirawat dirumah sakit. Belum sempat aku berkata
lagi, kau langsung menutup telpon. Sayang sekali, aku tak mempercayaimu saat
itu.”
“Aku menelpon ke rumahmu untuk menanyakan dimana
ibumu dirawat, dan sungguh lucu ketika ibumu sendiri yang menjawab telponku.
Tanpa diminta, beliau langsung menyebutkan kemana kau pergi saat tahu aku yang
menelpon. Beliau bilang kau sedang pergi ke Bandung, mengantar seorang teman.
Dan apa itu sebuah kebetulan, saat Krys juga sedang berada di sana bersama
seorang teman?” lanjut La.
Ren tersentak, rahasia yang ia pikir terjaga dengan
baik ternyata semudah itu diketahui La. Ia menatap La yang berjalan
berputar-putar di ruangan itu, terlihat memikirkan sesuatu. “Hei Ren, setiap
kali kau mengkhianatiku rasanya seperti tertusuk,” Alih-alih melihat Ren, La
justru memperhatikan ujung pisau yang kini berlumuran darah. “Kau mengerti arti
kata tertusuk, bukan?” La berjalan mendekat.
“Tertusuk, seperti ini.” La menusukkan pisau kecil
itu ke perut Ren, membuat laki-laki itu menjerit kesakitan. “Sakit?. Itu hanya
sekali, tapi kau menyakitiku berkali-kali,” kata-kata La terdengar sangat
pahit. “Kau mau tahu bagaimana rasanya? Ah salah, maksudku kau harus tahu
bagaimana rasanya.”
La tersenyum, kembali menusuk perut Ren, membiarkan
suara teriakan kembali menggema diruangan itu. Berulang-ulang, membuat darah
yang mengalir dari tubuh lelaki itu semakin banyak. Mengotori lantai dan
dinding ruangan. Kehilangan banyak darah membuat Ren hampir tak sadarkan diri.
Sedangkan La, terlihat sibuk disudut ruangan, memainkan sesuatu yang tergeletak
di meja.
Ren mengerang kesakitan, membuat La kembali
mendekatinya. “Kenapa? Apa itu sakit?” ujarnya. “Itu belum semuanya, Sayang.
Baru permulaan, tapi kau sudah menangis kesakitan. Bagaimana kalau kau jadi
aku?” ujar La dengan sangat santai. “Penderitaanku belum berhenti, Ren. Ketika
aku disakiti seperti tadi, aku masih bisa memaafkan, tapi tidak untuk yang ini.”
“Kemarin malam, Krys datang ke rumahku. Matanya
sembab, dan mukanya sangat pucat. Kau tahu apa yang dia katakan? Dia hamil, dan
itu adalah anakmu.”
Ren sontak mendongak tak percaya. “Kau bahkan tak
tahu kalau dia hamil? Cih,” ejek La. Ren tak mampu lagi berkata-kata, nafas dan
tenaganya sudah hampir habis, hanya penyesalan memuncak yang memenuhi seluruh
pikirannya. “Aku merasa seperti dibakar hidup-hidup saat itu,” La menatap
kosong ke depan.
Isakan tiba-tiba terdengar, sangat
pahit. “Kau memang benar-benar jahat. Mengkhianatiku bersama sahabatku, dengan
semua hal yang sudah kuberikan untukmu. Apa salahku, hah?! Padahal aku
mencintaimu dengan tulus, tapi apa balasanmu?!” kali ini La benar-benar
berteriak. “Jika aku tak dapat memilikimu, maka tak ada satupun orang yang
bisa.”
*****
Krys baru saja bangun dari tidurnya, dan bergegas
keluar rumah untuk mengambil koran yang baru saja diantarkan oleh loper koran
langganannya. Terlihat para tetangga yang sibuk membicarakan hal yang sama,
sepertinya tengah terjadi berita yang menghebohkan di kota tersebut. Krys yang
penasaran, serta merta membuka koran dan membaca headline hari ini.
“SEBUAH GUDANG TERBAKAR, DUA MAYAT DITEMUKAN HANGUS”
-END-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar