Kamis, 10 Juli 2014

I Can't Hate You


嬉しくなるのも切なくさせるのも
いつでも理由は君だけだよ

(Whether I feel happy or upset. It’s always because of you)



18 Januari 2014

Sore ini, aku melakukan kesalahan yang bodoh, cukup bodoh lebih tepatnya, mengingat masih banyak kesalahanku yang lebih bodoh daripada ini. 

Tak sengaja salah mengirim pesan, yang seharusnya ditujukan untuk temanku. Kesalahan biasa, bukan? Namun ini menjadi tak biasa ketika “si penerima” adalah orang yang kau hindari seharian ini. Aku merutuki kebodohanku, dan segera mengirim permohonan maaf, yang biasanya tak pernah kulakukan.


5 menit, 15 menit, 30 menit, dan 1 jam berselang. Tak ada tanda-tanda bahwa pesanku akan dibalas. Kupikir pesan itu memang tak penting untuk dibalas, jadi biarlah. Aku kembali sibuk dengan duniaku, mengerjakan hal-hal yang aku suka. Namun, tiba-tiba ponsel yang berada didekatku bergetar, menunjukkan adanya sebuah pesan masuk. 
Dia.
Kubuka pesan itu, yang hanya berisi kata “tidak apa-apa”. Oh ya sudah, kuabaikan pesan itu.


Belum sempat aku menaruh ponselku, benda itu kembali bergetar. Pesan lagi, dia.

“Maaf atas kejadian kemarin. Ini miskomunikasi.”

Aku terdiam. Setelah dia membuat aku sakit karena perlakuannya kemarin, dan baru sekarang ia minta maaf?! Laki-laki macam apa itu? Aku memandangi layar ponselku beberapa saat, berpikir apa yang harus ku katakan untuk membalas pesan si tuan menyebalkan ini.

“Jujur, aku marah. Tapi aku tak tahu, sebenarnya aku marah pada siapa.”

Kata-kata ambigu itulah yang akhirnya kukirimkan padanya. Aku ingin tahu, apa responnya atas kata-kataku ini.



Sesaat kemudian, ponselku bergetar. Cepat-cepat kubuka pesan itu.

“Aku tahu, kamu terlihat sangat marah kemarin. Ini salahku juga, aku minta maaf.”

Cih, apa-apaan ini. Bukan kata-kata ini yang aku mau. Ternyata, dia belum juga sadar, tentang apa yang sebenarnya membuatku marah. Bukan, bukan karena kesalahan yang dia perbuat. Kesalahannya tak terlalu besar, dalam kasus lain biasanya aku cepat memaafkan kesalahan semacam ini. Satu hal yang membuatku marah, sebenarnya lebih kepada sikap tidak pedulinya. Serta caranya minta maaf yang terdengar terpaksa, yang hanya untuk formalitas saja. Namun laki-laki ini sama sekali tak menangkap maksudku, keterlaluan.

“Ya sudah. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi jika kamu sudah minta maaf, bukan?”

Satu lagi kalimat ambigu dariku. Hohoho, kita lihat sekarang, apa kau cukup cerdas untuk mengerti dan menyikapi kata-kataku ini?. Orang yang bodohpun akan mengerti kalau aku tak bisa sepenuhnya memaafkanmu, Tuan. Dan aku percaya, kau tidak bodoh.



Seperti perkiraanku, dia tidak bodoh. Hanya saja, dia gila.

“Kalau kamu masih marah, keluarkan saja.”

Aku tercengang membaca kata-katanya. Keluarkan saja?. Hah, lucu sekali. Aku tak habis pikir apa yang ada didalam otaknya. Aku berpikir keras untuk membalas pesannya kali ini. Kuketik sebuah pesan dengan segala makian, cacian dan sumpah serapah yang terlintas di otakku, namun akhirnya kuhapus.
Ah, kenapa sisi bodoh dan lemah dariku harus muncul sekarang? Jujur saja, aku tak bisa membencinya. Sekalipun, ia telah membuatku marah bahkan menangis, aku tak pernah bisa. Ada kekuatan darinya yang membuatku tak dapat membencinya, walau aku telah berusaha. Ya, terdengar sangat klise, namun beginilah adanya.

“Kamu menyuruhku untuk marah dan memakimu? Aku tidak bisa.”

Kalimat ini yang akhirnya aku kirimkan sebagai balasan, setelah beberapa kali menghapus kalimat-kalimat sebelumnya aku ketikkan.



Dia sangat cepat dalam membalas pesanku kali ini. Tak sampai 2 menit, balasannya muncul di ponselku. Hanya satu kata, namun membuatku berpikir keras untuk menjawabnya.

“Kenapa?”

Dia bertanya “kenapa?” ? Itu artinya dia menginginkan alasan, bukan? Dia bertanya kenapa aku tak bisa memarahinya, itu sama saja bertanya mengapa aku tak bisa membencinya. Aku tak tahu jawabannya, aku tak bisa menjelaskan kenapa.
Pada diriku sendiri saja, aku tak mampu menjelaskan, apalagi pada orang lain? Si Tuan Omong Kosong ini membuatku benar-benar tidak waras. Setelah berpikir lama, dan akhirnya otakku benar-benar buntu. Kuketikkan jawaban asal-asalan yang begitu saja lewat di kepalaku.

“Aku tak tahu kenapa, aku sedang tak ingin menambah dosaku.”

Dan itu termasuk salah satu dari sekian alasan bodoh yang pernah kubuat. Bodoh.



Beberapa menit kemudian, ponselku bergetar. Aku menatap ponsel dengan malas, kupikir kata-kata bodoh tadi akan membuatnya berhenti.

“Wah, anak yang baik.”

Aku tak tahu pasti, apa maksud dari kata-kata ini, kupikir dia sedang mencoba bercanda. Tapi, aku merasa ada kalimat “Aku tak menerima alasanmu,” dibalik kata-kata ini. Aku kesal. Kubalas pesan itu sekenanya.

“Ya mungkin. Aku tak punya kata-kata lain untuk kujadikan alasan.”

Dan balasan darinya, hanya kata “Oke”. Membuatku memandang layar ponsel dengan perasaan bercampur antara marah, bingung, dan sedih.



***

Hei Tuan Omong Kosong, apa begitu tidak berartinya aku dimatamu itu? Apa bagimu aku hanya kerikil kecil yang sekadar hadir di hidupmu? Aku tak mengerti.
Hei kau, apa kau tahu alasan aku tak dapat memarahimu?! Apa kau tahu, mengapa aku tak dapat membencimu? Apa kau tahu semua hal itu?!
Ah, aku lupa, kau sama sekali tak peduli akan hal itu. Tak ada gunanya memberitahumu atau menyadarkanmu, Tuan. Sekalipun aku berkata kalau aku menyukaimu, kau tetap tak akan peduli, bukan?


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar