”嬉しくなるのも切なくさせるのも
いつでも理由は君だけだよ”
いつでも理由は君だけだよ”
(Whether I feel happy or upset. It’s always because of you)
18 Januari 2014
Sore
ini, aku melakukan kesalahan yang bodoh, cukup bodoh lebih tepatnya, mengingat
masih banyak kesalahanku yang lebih bodoh daripada ini.
Tak sengaja salah mengirim pesan, yang seharusnya ditujukan untuk
temanku. Kesalahan biasa, bukan? Namun ini menjadi tak biasa ketika “si
penerima” adalah orang yang kau hindari seharian ini. Aku merutuki kebodohanku,
dan segera mengirim permohonan maaf, yang biasanya tak pernah kulakukan.
5
menit, 15 menit, 30 menit, dan 1 jam berselang. Tak ada tanda-tanda bahwa
pesanku akan dibalas. Kupikir pesan itu memang tak penting untuk dibalas, jadi
biarlah. Aku kembali sibuk dengan duniaku, mengerjakan hal-hal yang aku suka.
Namun, tiba-tiba ponsel yang berada didekatku bergetar, menunjukkan adanya
sebuah pesan masuk.
Dia.
Kubuka pesan itu, yang hanya berisi kata “tidak
apa-apa”. Oh ya sudah, kuabaikan pesan itu.
Belum
sempat aku menaruh ponselku, benda itu kembali bergetar. Pesan lagi, dia.
“Maaf atas kejadian kemarin.
Ini miskomunikasi.”
Aku
terdiam. Setelah dia membuat aku sakit karena perlakuannya kemarin, dan baru
sekarang ia minta maaf?! Laki-laki macam apa itu? Aku memandangi layar ponselku
beberapa saat, berpikir apa yang harus ku katakan untuk membalas pesan si tuan
menyebalkan ini.
“Jujur, aku marah. Tapi aku tak
tahu, sebenarnya aku marah pada siapa.”
Kata-kata
ambigu itulah yang akhirnya kukirimkan padanya. Aku ingin tahu, apa responnya
atas kata-kataku ini.
Sesaat
kemudian, ponselku bergetar. Cepat-cepat kubuka pesan itu.
“Aku tahu, kamu terlihat sangat
marah kemarin. Ini salahku juga, aku minta maaf.”
Cih,
apa-apaan ini. Bukan kata-kata ini yang aku mau. Ternyata, dia belum juga
sadar, tentang apa yang sebenarnya membuatku marah. Bukan, bukan karena
kesalahan yang dia perbuat. Kesalahannya tak terlalu besar, dalam kasus lain
biasanya aku cepat memaafkan kesalahan semacam ini. Satu hal yang membuatku
marah, sebenarnya lebih kepada sikap tidak pedulinya. Serta caranya minta maaf
yang terdengar terpaksa, yang hanya untuk formalitas saja. Namun laki-laki ini
sama sekali tak menangkap maksudku, keterlaluan.
“Ya sudah. Aku tak bisa berkata
apa-apa lagi jika kamu sudah minta maaf, bukan?”
Satu
lagi kalimat ambigu dariku. Hohoho, kita lihat sekarang, apa kau cukup cerdas
untuk mengerti dan menyikapi kata-kataku ini?. Orang yang bodohpun akan
mengerti kalau aku tak bisa sepenuhnya memaafkanmu, Tuan. Dan aku percaya, kau
tidak bodoh.
Seperti
perkiraanku, dia tidak bodoh. Hanya saja, dia gila.
“Kalau kamu masih marah,
keluarkan saja.”
Aku
tercengang membaca kata-katanya. Keluarkan saja?. Hah, lucu sekali. Aku tak
habis pikir apa yang ada didalam otaknya. Aku berpikir keras untuk membalas
pesannya kali ini. Kuketik sebuah pesan dengan segala makian, cacian dan sumpah
serapah yang terlintas di otakku, namun akhirnya kuhapus.
Ah,
kenapa sisi bodoh dan lemah dariku harus muncul sekarang? Jujur saja, aku tak
bisa membencinya. Sekalipun, ia telah membuatku marah bahkan menangis, aku tak
pernah bisa. Ada kekuatan darinya yang membuatku tak dapat membencinya, walau
aku telah berusaha. Ya, terdengar sangat klise, namun beginilah adanya.
“Kamu menyuruhku untuk marah
dan memakimu? Aku tidak bisa.”
Kalimat
ini yang akhirnya aku kirimkan sebagai balasan, setelah beberapa kali menghapus
kalimat-kalimat sebelumnya aku ketikkan.
Dia
sangat cepat dalam membalas pesanku kali ini. Tak sampai 2 menit, balasannya
muncul di ponselku. Hanya satu kata, namun membuatku berpikir keras untuk
menjawabnya.
“Kenapa?”
Dia
bertanya “kenapa?” ? Itu artinya dia menginginkan alasan, bukan? Dia bertanya
kenapa aku tak bisa memarahinya, itu sama saja bertanya mengapa aku tak bisa
membencinya. Aku tak tahu jawabannya, aku tak bisa menjelaskan kenapa.
Pada
diriku sendiri saja, aku tak mampu menjelaskan, apalagi pada orang lain? Si
Tuan Omong Kosong ini membuatku benar-benar tidak waras. Setelah berpikir lama,
dan akhirnya otakku benar-benar buntu. Kuketikkan jawaban asal-asalan yang
begitu saja lewat di kepalaku.
“Aku tak tahu kenapa, aku
sedang tak ingin menambah dosaku.”
Dan
itu termasuk salah satu dari sekian alasan bodoh yang pernah kubuat. Bodoh.
Beberapa
menit kemudian, ponselku bergetar. Aku menatap ponsel dengan malas, kupikir
kata-kata bodoh tadi akan membuatnya berhenti.
“Wah, anak yang baik.”
Aku
tak tahu pasti, apa maksud dari kata-kata ini, kupikir dia sedang mencoba
bercanda. Tapi, aku merasa ada kalimat “Aku tak menerima alasanmu,” dibalik
kata-kata ini. Aku kesal. Kubalas pesan itu sekenanya.
“Ya mungkin. Aku tak punya
kata-kata lain untuk kujadikan alasan.”
Dan
balasan darinya, hanya kata “Oke”. Membuatku memandang layar ponsel dengan
perasaan bercampur antara marah, bingung, dan sedih.
***
Hei
Tuan Omong Kosong, apa begitu tidak berartinya aku dimatamu itu? Apa bagimu aku
hanya kerikil kecil yang sekadar hadir di hidupmu? Aku tak mengerti.
Hei
kau, apa kau tahu alasan aku tak dapat memarahimu?! Apa kau tahu, mengapa aku
tak dapat membencimu? Apa kau tahu semua hal itu?!
Ah,
aku lupa, kau sama sekali tak peduli akan hal itu. Tak ada gunanya
memberitahumu atau menyadarkanmu, Tuan. Sekalipun aku berkata kalau aku
menyukaimu, kau tetap tak akan peduli, bukan?
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar