Masih kuingat dengan
jelas saat dia menunjukkan fotomu padaku untuk pertamakalinya, sambil berkata,
“Bagaimana menurutmu?”
Walau aku sama
sekali tak mengenalmu, tapi aku merasa pilihannya kali ini tidak akan salah, kamu
memang perempuan yang cocok untuk sahabatku. Saat itu, setiap hari aku harus
merelakan telingaku untuk mendengar segala ocehannya tentangmu. Betapa
cantiknya dirimu, pesonamu yang membuatnya mabuk kepayang, hingga senyumanmu
yang bisa membuatnya tidak bisa konsentrasi seharian. Semua kutanggapi dengan
kata-kata penyemangat, agar dia memberanikan diri untuk mendekati dirimu. Banyak
hal yang kulakukan, untuk menghidupkan kepercayaan dirinya agar bisa
mendapatkanmu. Hingga akhirnya, kalian menjadi sepasang kekasih seperti
sekarang.
Seingatku, di awal
hubungan kalian aku adalah manusia yang paling berjasa. Aku kemudian
bertranformasi menjadi sumber segala informasi tentangnya yang belum kamu
ketahui saat masa pendekatan. Apa warna favoritnya, makanan apa yang
disukainya, hal apa yang membuatnya takut, siapa pemain sepakbola favoritnya,
dan masih banyak lagi. Belum lagi kebiasan-kebiasaan yang baru kamu ketahui
saat menjadi pacarnya. Aku benar-benar menjadi teman curhat dan teman bicara
nomor satumu tentang dia. Tentu saja itu dulu, sebelum – entah sejak kapan –
aku tiba-tiba kau anggap musuh besar yang harus dienyahkan.
Jujur saja, sampai
sekarangpun aku belum sepenuhnya mengerti apa alasanmu bersikap seperti ini.
Aku tak merasa melakukan kesalahan apapun, tapi aku acap kali menjadi sumber
pertengkaran kalian. Serta bagian terburuknya, aku bahkan tak tahu alasan jelas
dari hal itu. Seakan apapun yang dilakukannya, jika itu berhubungan denganku
selalu salah dimatamu. Seakan aku adalah manusia yang memiliki potensi yang
luar biasa besar untuk merebut kekasihmu. Satu tanya kemudian muncul dibenakku;
apa kamu merasa kehadiranku adalah sebuah ancaman, Nona? Oh please.
Biar aku jelaskan
dengan bahasa sederhana agar pikiranmu yang benar-benar penuh dengan prasangka
buruk itu bisa mencernanya.
Satu hal Nona, dia memilihmu. Tolong camkan hal itu.
Dari sekian banyak perempuan yang dikenalnya, termasuk aku, dia memilihmu. Jika
dia tak benar-benar jatuh padamu, kau pikir untuk apa dia melakukan itu? Dan
aku, tak pernah satu kali pun terbersit dalam pikiranku untuk merebutnya
darimu. Tidak pernah, sama sekali tidak pernah. Kalau memang aku menyukainya,
kenapa tak sejak dulu saja aku mendekatinya? Kenapa tak sebelum dia bertemu
denganmu saja? Mengapa harus susah-susah merusak hubungannya dengan perempuan
pilihannya sekarang? Tolong coba kau pikirkan hal itu.
Aku tidak pernah
sedikitpun berniat untuk memisahkan dirimu dengannya, namun aku harus jujur
kalau aku memang membutuhkannya. Bagimu mungkin kami hanya berteman, tapi bagiku
dia lebih dari sekedar teman. Dia sahabatku, saudaraku, satu-satunya orang yang
mau dan dapat mengerti diriku dengan segala macam permasalahan yang ada
dihidupku. Satu-satunya orang yang dapat kuandalkan dan kupercaya seperti
keluargaku sendiri. Semenjak kau berubah membenciku, aku mulai menjaga jarak
darinya demi menjaga perasaanmu. Sadar atau tidak, secara tidak langsung kau
telah merusak persahabatan kami sedikit demi sedikit dengan tameng bernama
‘cinta’mu itu.
Aku menghargai
hubungan kalian. Aku tak sampai hati mengeluhkan hal ini pada kekasihmu, jadi
tolong hargai perasaanku dengan tidak memasang wajah sinismu saat melihatku. Aku
juga perempuan, Nona. Aku tahu kau merasa cemburu, dan aku pun tahu bahwa
cemburu adalah rasa yang tidak menyenangkan. Satu hal yang kau lupakan, menjadi
kekasihnya bukan berarti dia mutlak menjadi milikmu.
Aku tak akan dengan
egois berkata bahwa aku mengenalnya lebih dulu daripada dirimu, jadi aku juga
berharap kau mau memaklumi kehadiranku. Ada saat-saat dalam hidupku dimana aku
benar-benar memerlukan kehadirannya, dan sekali lagi itu bukan untuk merebutnya
darimu. Aku mohon pengertian darimu, Nona.
Aku bukan musuhmu.
Aku bukanlah perempuan penggoda kekasihmu.
Aku bukanlah perempuan jalang yang akan merusak hubungan kalian.
Aku hanya sahabat dari kekasihmu.
Tak bisakah sedikit saja kau mengerti?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar